mahasiswa adalah figur utama kemajuan bangsa.
Sebab mahasiswa merupakan bibit para kaum intelektual yang sedang berproses
menuju kearah kemajuan bangsa.
Sejarah mencatat peran mahasiswa selalu
memberi dampak yang besar. mengangkat intelektual bangsa dan juga mendobrak
jalannya rezim pemerintahan yang tidak pro dengan keadaan rakyat, sebagai
mahasiswa ada beberap hal penting yang harus disadari bahwa fungsi dan tugas
mahasiswa yang sangat penting diantaranya adalah mahasiswa sebagai agen of change dan sosial of control. Diakatakan
sebagai agen of change sebab mahasiswa merupakan salah satu unsur pembaharu
yang dimiliki bangsa. Seorang pembaharu harus mampu menggantikan sesuatu tidak
benar menjadi benar. Perubahan disini dimaksud adalah sesuatu yang ,masih
keliru dalam kehidupan dapat diluruskan oleh mahasiswa. Dan mahasiswa sebagai
sosial of control karena seorang agen perubahan harus mampu menjadi penengah
diantara lingkup sosial ditengah masyarakat. Agar mampu menjalankan tugas dan
fungsi keduanya tidask terlepas dari yang namanya pemikiran dari mahasiswa itu
sendiri baik dari segi mahasiswa idealis atau seorang mahasiswa yang pragmatis.
sebagai mahasiswa
apakah kawan-kawan pernah mendengar kata ” idealis’’ ,Apa itu idealis dan
bagaimana pendapat sebagian orang tentang idealis?. Idelais sendiri.merupakan
paham yang dianut oleh seseorang tentang paradigma ia berpikir, cara pandang,
serta dasar pemikiran dari orang tersebut dalam mengambil keputusan. idealism juga
merupakan orang yang yang selalu berfikir bahwa dirinya berbeda dengan
pemikiran sederhana dan sempit.“. Bisa diartikan juga mengutamakan
ide/gagasan/pikiran tertentu yg dia anut. Org yg idealis, akan berusaha
melaksanakan kehidupannya sesuai ide tersebut dan akan sulit untuk diubah cara
pandang seorang yang idealis. Orang idealis juga tidak akan peranah merasa peduli
dengan penilaian orang,lain yang penting dia bisa melakukan seperti apa yang
dia inginkan”.
Idelis
adalah pemikiran yang mengutamakan prinsip,
seperti beberapa pendapat dosen dikampus saya idelais itu seperti Bung Karno. Beliau memiliki
pemikiran yang sangat idealis.
idealis sendiri berkata baku ”íde”, yang
artinya gagasan idealis, berarti suatu yang tergagas atau mempunyai gagasan.
orang idealis adalah orang yang menyampaikan gagasannya tersebut untuk diakui
dan jika memungkinkan dilaksanakan orang idealis biasanya banyak mengeluarkan
pendapat.
Tapi
yang harus diketahui Idealis juga adalah orang yang melihat segala sesuatu
sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, orang idealis berpandangan lurus dan
cenderung kaku. orang seperti ini ingin agar apa pun yang dia lakukan harus
dengan cara yang sesuai untuk mencapai tujuanya, sehingga kalau tujuan tersebut
dicapai dengan cara lain maka itu tidak ideal.
Pragmatis
sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu, /prag·ma·tis/
a 1 bersifat praktis dan berguna bagi
umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);
mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dengan pragmatism. Dalam kehidupan
keseharian mahasiswa sifat pragmatis paling banyak ditemui di sekeliling kita,
mulai dari cara bicaranya kita dapat mengetahui pragmatis seseorang. Dalam hal
ini ketika berinnteraksi untuk mengajak, meminta, atau yang berkaitan dengan
kepentingan seseorang yang ingin ia ajukan kepada dirikita maupun kepada dosen.
Pragmatis secara umum dikenal dengan proses-proses kegiatan yang menghalalkan
segala cara dalam mencapai tujuannya. Menjilat pun dapt dikatakan sebagai kaum
pragmatis. Entah itu kepada mahasiswa yang lain atau menjilat kepada dosen
untuk mendapatkan nilai yang baik. Atau lebih parahnya lagi seorang yang
pragmatis biasanya membuat image orang lain menjadi buruk dan dirinya sendiri
adalah yang benar. Seorang yang pragmatis tidak mempunyai pendirian dan
biasanya pikirannya sangat cepat dapat berubah-ubah.
Saya
sendiri masih sangat jauh kalau dikatakan sebagai orang yang idealis, namun
seburuk apapun diri saya, saya selalu mencoba untuk menjadi orang yang baik dan
tidak ingin menjadi orang yang pragmatis. Akan tetapi penilaian tentang dirimu
sangat bergantung kepada orang-orang yang ada di sekelilingmu. Semua yang kau
lakukan dan yang kau katakan akan selalu dinilai orang yang ada disekitarmu. Tapi
yang harus kau tau secara jelas bahwa, kadang kita harus menutup telinga
tentang ocehan orang lain terhadap diri kita. Saya pun biasanya merasa
demikian. Terlebih dari semua itu, sebagai mahasiswa, marilah kita sama-sama
untuk menjauhi dari yang namanya sifat pragmatis. Dan mencoba belajar untuk
memiliki ideologi yang baik.
‘’Idealism dan pragmatis di era globalisasi’’
Idealisme: bukan dogma, Pragmatisme: bukan oportunisme
Batas
bahasa adalah batas dunia. Itulah ungkapan filsuf bahasa L.Wittgeinstein dalam
buku masterpiecenya Tractatus Logico-Philosophicus. Artinya, makna
dalam bahasa merupakan ungkapan realitas dunia.
Bagi
Wittgeinstein, bahasa harus memiliki makna, karena makna itulah yang akan
menjadikan realitas dunia. Sederhananya, setiap kata haruslah memiliki arti
yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penggunaannya.
Oleh
karena itu, ketika ingin menyelidiki lebih lanjut mengenai peran pragmatisme
dan idealisme dalam era globalisasi, maka perlu penjelasan mengenai keduanya.
Idealisme kali pertama digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal bad
ke-18. Ia menerapkan istilah ini pada Plato—pemikiran mengenai dunia ide.
Istilah ini, dengan demikian menunjukkan filsafat-filsafat yang memandang
mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas (Lorens Bagus,
2000: 300).
Lambat
laun, idealisme mengalami pembaruan makna. Pada sekitar tahun (1790- 1830)
idealisme tumbuh subur di Jerman dengan Hegel sebagai tokohnya. Sejak
itu, pemahaman idealisme mengerucut pada dua ide dasar: keunggulan pikiran dan
gerakan dialektis. Hal itu kemudian menelurkan makna bahwa idealisme merupakan
paham yang mengedepankan rasio (pikiran) untuk mengendalikan realitas.
Yang
kedua adalah pragmatisme. Pragmatisme adalah aliran yang tersebar luas
dalam filsafat modern. Pragmatisme adalah inti filsafat pragmatik dan
menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan praktis
bukan pengakuan kebenaran objektif dengan kriterium praktik (Lorens Bagus,
2000: 877 ).
Perbedaan
yang paling mencolok antara idealisme dan pragmatisme adalah mengenai dasar
pemikirannya. Jika idealisme berangkat dari rasionalisme yang sarat dengan
konsep-konsep, maka pragmatisme justru berasal dari empirisme yang
mengedepankan hal-hal yang praktis, tak lagi konsep.
Perbedaan
inilah yang kemudian menjadi masalah di kemudian hari. Idealisme menuduh
pragmatisme hanya mengedepankan hasil, tanpa proses. Pragmatisme “menyerang”
idealisme hanya sekadar berkonsep tanpa hasil nyata.
Dewasa
ini, pemaknaan idealisme dan pragmatisme seringkali salah kaprah. Seolah,
idealisme menjadi peran protagonis, dan pragmatisme sebagai tokoh antagonisnya.
Kenyataan itu tak bisa dibenarkan, juga tak bisa disalahkan, tergantung
persepsi kita.
Gejala
me-negatifkan pragmatis sesungguhnya terletak pada kesalahan pemaknaan. Selama
ini banyak orang mengartikan pragmatisme sebagai paham yang mengusahakan
kepentingan individu semata. Padahal, paham seperti itu adalah
oportunisme—suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian
kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri,
kelompok, atau suatu tujuan tertentu (Ensiklopedi Nasional Indonesia,
2004).
Di
sisi lain, idealisme juga terkadang dianut berlebih. Akibatnya pun berujung
pada teori tanpa aksi. Contoh nyata hal ini pun dapat kita temui sehari-hari.
Di antaranya ketika terjadi pemilihan ketua BEM. Sering mahasiswa berkoar akan
melakukan “ini itu”, namun hasilnya tetaplah sama.
Lebih
jauh, ketika masa Orde Baru. Ketika beberapa aktivis mahasiswa berhasil
menggulingkan Soeharto, secara bertahap mereka pun kemudian menduduki kursi
wakil rakyat. Namun, lagi-lagi hasilnya dapat ditebak: idealisme itu kemudian
runtuh tak berdaya.
Ulasan
tentang arti pragmatisme dan idealisme telah memberikan penyadaran, bahwa tidak
ada yang bernilai benar di antara keduanya. Idealisme tanpa pragmatisme hanya
akan melahirkan ide tanpa realitas, sedangkan pragmatisme tanpa idealisme akan
menghasilkan oportunisme.
Sekarang,
bukan saatnya mengurus persoalan mana yang lebih benar antara kedua paham
tersebut. Di zaman globalisasi ini, mahasiswa jelas dituntut lebih dari sekadar
lulus dan bekerja. Ada sebuah tanggung jawab moral. Hal inilah yang kemudian
mendorong munculnya ide Anies Baswedan. Ia mendirikan organisasi Indonesia
Mengajar yang berusaha keras untuk menyebarkan ide agar semua komponen anak
bangsa bertanggung jawab meningkatkan taraf hidup penduduk Indonesia lewat
pendidikan.
Kesadaran
berbagi inilah yang dewasa ini sulit kita temui di kalangan mahasiswa.
Nilai-nilai kemanusiaan, bahkan semangat nasionalisme, pun lenyap digantikan
hedonisme yang diusung oportunisme tadi.
Oleh
karena itu, diperlukan kembali penyegaran akan nilai-nilai kebangsaan, yang
disebut nation and character building oleh Bung Karno. Nilai ini
hendaknya diresapi secara idealis, namun diterapkan secara praktis. Salah satu
langkah praktisnya adalah membangun rasa nasionalisme yang kuat. Jika
pembangunan karakter nasionalisme benar-benar dihayati sepenuh hati, maka
generasi penerus bangsa, khususnya mahasiswa, tak akan gentar lagi menghadapi
persaingan globalisasi dewasa ini.
No comments :
Post a Comment