'',, Selamat Diwisudah kepada kawan-kawan ILmu Komunikasi 2011 UIN Alauddin Makassar, semoga ilmu dan gelarnya bermanfaat untuk bangsa dan negara ' ''

Sunday 13 March 2016

Mahasiswa Indonesia, Pragmatis atau Idealis ?




mahasiswa adalah figur utama kemajuan bangsa. Sebab mahasiswa merupakan bibit para kaum intelektual yang sedang berproses menuju kearah kemajuan bangsa.
Sejarah mencatat peran mahasiswa selalu memberi dampak yang besar. mengangkat intelektual bangsa dan juga mendobrak jalannya rezim pemerintahan yang tidak pro dengan keadaan rakyat, sebagai mahasiswa ada beberap hal penting yang harus disadari bahwa fungsi dan tugas mahasiswa yang sangat penting diantaranya adalah mahasiswa sebagai  agen of change dan sosial of control. Diakatakan sebagai agen of change sebab mahasiswa merupakan salah satu unsur pembaharu yang dimiliki bangsa. Seorang pembaharu harus mampu menggantikan sesuatu tidak benar menjadi benar. Perubahan disini dimaksud adalah sesuatu yang ,masih keliru dalam kehidupan dapat diluruskan oleh mahasiswa. Dan mahasiswa sebagai sosial of control karena seorang agen perubahan harus mampu menjadi penengah diantara lingkup sosial ditengah masyarakat. Agar mampu menjalankan tugas dan fungsi keduanya tidask terlepas dari yang namanya pemikiran dari mahasiswa itu sendiri baik dari segi mahasiswa idealis atau seorang mahasiswa yang pragmatis.
          sebagai mahasiswa apakah kawan-kawan pernah mendengar kata ” idealis’’ ,Apa itu idealis dan bagaimana pendapat sebagian orang tentang idealis?. Idelais sendiri.merupakan paham yang dianut oleh seseorang tentang paradigma ia berpikir, cara pandang, serta dasar pemikiran dari orang tersebut dalam mengambil keputusan. idealism juga merupakan orang yang yang selalu berfikir bahwa dirinya berbeda dengan pemikiran sederhana dan sempit.“. Bisa diartikan juga mengutamakan ide/gagasan/pikiran tertentu yg dia anut. Org yg idealis, akan berusaha melaksanakan kehidupannya sesuai ide tersebut dan akan sulit untuk diubah cara pandang seorang yang idealis. Orang idealis juga tidak akan peranah merasa peduli dengan penilaian orang,lain yang penting dia bisa melakukan seperti apa yang dia inginkan”.
Idelis adalah pemikiran yang mengutamakan prinsip,  seperti beberapa pendapat dosen dikampus saya  idelais itu seperti Bung Karno. Beliau memiliki pemikiran yang sangat idealis.
 idealis sendiri berkata baku ”íde”, yang artinya gagasan idealis, berarti suatu yang tergagas atau mempunyai gagasan. orang idealis adalah orang yang menyampaikan gagasannya tersebut untuk diakui dan jika memungkinkan dilaksanakan orang idealis biasanya banyak mengeluarkan pendapat.
Tapi yang harus diketahui Idealis juga adalah orang yang melihat segala sesuatu sesuai dengan keyakinan yang dianutnya, orang idealis berpandangan lurus dan cenderung kaku. orang seperti ini ingin agar apa pun yang dia lakukan harus dengan cara yang sesuai untuk mencapai tujuanya, sehingga kalau tujuan tersebut dicapai dengan cara lain maka itu tidak ideal.
Pragmatis sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu, /prag·ma·tis/ a 1 bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis; 2 mengenai atau bersangkutan dengan pragmatism. Dalam kehidupan keseharian mahasiswa sifat pragmatis paling banyak ditemui di sekeliling kita, mulai dari cara bicaranya kita dapat mengetahui pragmatis seseorang. Dalam hal ini ketika berinnteraksi untuk mengajak, meminta, atau yang berkaitan dengan kepentingan seseorang yang ingin ia ajukan kepada dirikita maupun kepada dosen. Pragmatis secara umum dikenal dengan proses-proses kegiatan yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya. Menjilat pun dapt dikatakan sebagai kaum pragmatis. Entah itu kepada mahasiswa yang lain atau menjilat kepada dosen untuk mendapatkan nilai yang baik. Atau lebih parahnya lagi seorang yang pragmatis biasanya membuat image orang lain menjadi buruk dan dirinya sendiri adalah yang benar. Seorang yang pragmatis tidak mempunyai pendirian dan biasanya pikirannya sangat cepat dapat berubah-ubah.
Saya sendiri masih sangat jauh kalau dikatakan sebagai orang yang idealis, namun seburuk apapun diri saya, saya selalu mencoba untuk menjadi orang yang baik dan tidak ingin menjadi orang yang pragmatis. Akan tetapi penilaian tentang dirimu sangat bergantung kepada orang-orang yang ada di sekelilingmu. Semua yang kau lakukan dan yang kau katakan akan selalu dinilai orang yang ada disekitarmu. Tapi yang harus kau tau secara jelas bahwa, kadang kita harus menutup telinga tentang ocehan orang lain terhadap diri kita. Saya pun biasanya merasa demikian. Terlebih dari semua itu, sebagai mahasiswa, marilah kita sama-sama untuk menjauhi dari yang namanya sifat pragmatis. Dan mencoba belajar untuk memiliki ideologi yang baik.

 
‘’Idealism dan pragmatis di era globalisasi’’
Idealisme: bukan dogma, Pragmatisme: bukan oportunisme 
    
Batas bahasa adalah batas dunia. Itulah ungkapan filsuf bahasa L.Wittgeinstein dalam buku masterpiecenya Tractatus Logico-Philosophicus.  Artinya, makna dalam bahasa merupakan ungkapan realitas dunia.
 Bagi Wittgeinstein, bahasa harus memiliki makna, karena makna itulah yang akan menjadikan realitas dunia. Sederhananya, setiap kata haruslah memiliki arti yang jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penggunaannya.
 Oleh karena itu, ketika ingin menyelidiki lebih lanjut mengenai peran pragmatisme dan idealisme dalam era globalisasi, maka perlu penjelasan mengenai keduanya. Idealisme kali pertama digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal bad ke-18. Ia menerapkan istilah ini pada Plato—pemikiran mengenai dunia ide. Istilah ini, dengan demikian menunjukkan filsafat-filsafat yang memandang mental atau ideasional sebagai kunci masuk ke hakikat realitas (Lorens Bagus, 2000: 300).
 Lambat laun, idealisme mengalami pembaruan makna. Pada sekitar tahun (1790- 1830)  idealisme tumbuh subur di Jerman dengan Hegel sebagai tokohnya. Sejak itu, pemahaman idealisme mengerucut pada dua ide dasar: keunggulan pikiran dan gerakan dialektis. Hal itu kemudian menelurkan makna bahwa idealisme merupakan paham yang mengedepankan rasio (pikiran) untuk mengendalikan realitas.
 Yang kedua adalah pragmatisme. Pragmatisme  adalah aliran yang tersebar luas dalam filsafat modern. Pragmatisme adalah inti filsafat pragmatik dan menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan praktis bukan pengakuan kebenaran objektif dengan kriterium praktik (Lorens Bagus, 2000: 877 ).
Perbedaan yang paling mencolok antara idealisme dan pragmatisme adalah mengenai dasar pemikirannya. Jika idealisme berangkat dari rasionalisme yang sarat dengan konsep-konsep, maka pragmatisme justru berasal dari empirisme yang mengedepankan hal-hal yang praktis, tak lagi konsep.
Perbedaan inilah yang kemudian menjadi masalah di kemudian hari. Idealisme menuduh pragmatisme hanya mengedepankan hasil, tanpa proses. Pragmatisme “menyerang” idealisme hanya sekadar berkonsep tanpa hasil nyata.
Dewasa ini, pemaknaan idealisme dan pragmatisme seringkali salah kaprah. Seolah, idealisme menjadi peran protagonis, dan pragmatisme sebagai tokoh antagonisnya. Kenyataan itu tak bisa dibenarkan, juga tak bisa disalahkan, tergantung persepsi kita.
 Gejala me-negatifkan pragmatis sesungguhnya terletak pada kesalahan pemaknaan. Selama ini banyak orang mengartikan pragmatisme sebagai paham yang mengusahakan kepentingan individu semata. Padahal, paham seperti itu adalah oportunisme—suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004).
Di sisi lain, idealisme juga terkadang dianut berlebih. Akibatnya pun berujung pada teori tanpa aksi. Contoh nyata hal ini pun dapat kita temui sehari-hari. Di antaranya ketika terjadi pemilihan ketua BEM. Sering mahasiswa berkoar akan melakukan “ini itu”, namun hasilnya tetaplah sama.
Lebih jauh, ketika masa Orde Baru. Ketika beberapa aktivis mahasiswa berhasil menggulingkan Soeharto, secara bertahap mereka pun kemudian menduduki kursi wakil rakyat. Namun, lagi-lagi hasilnya dapat ditebak: idealisme itu kemudian runtuh tak berdaya.
Ulasan tentang arti pragmatisme dan idealisme telah memberikan penyadaran, bahwa tidak ada yang bernilai benar di antara keduanya. Idealisme tanpa pragmatisme hanya akan melahirkan ide tanpa realitas, sedangkan pragmatisme tanpa idealisme akan menghasilkan oportunisme.
Sekarang, bukan saatnya mengurus persoalan mana yang lebih benar antara kedua paham tersebut. Di zaman globalisasi ini, mahasiswa jelas dituntut lebih dari sekadar lulus dan bekerja. Ada sebuah tanggung jawab moral. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya ide Anies Baswedan. Ia mendirikan organisasi Indonesia Mengajar yang berusaha keras untuk menyebarkan ide agar semua komponen anak bangsa bertanggung jawab meningkatkan taraf hidup penduduk Indonesia lewat pendidikan.
Kesadaran berbagi inilah yang dewasa ini sulit kita temui di kalangan mahasiswa. Nilai-nilai kemanusiaan, bahkan semangat nasionalisme, pun lenyap digantikan hedonisme yang diusung oportunisme tadi.
Oleh karena itu, diperlukan kembali penyegaran akan nilai-nilai kebangsaan, yang disebut nation and character building oleh Bung Karno. Nilai ini hendaknya diresapi secara idealis, namun diterapkan secara praktis. Salah satu langkah praktisnya adalah membangun rasa nasionalisme yang kuat. Jika pembangunan karakter nasionalisme benar-benar dihayati sepenuh hati, maka generasi penerus bangsa, khususnya mahasiswa, tak akan gentar lagi menghadapi persaingan globalisasi dewasa ini.

No comments :